Saat Sakaratul Maut itu datang
Seorang kerabat beberapa waktu yang
lalu meninggal dunia setelah jatuh dari pohon rambutan di depan rumahnya. Saat
kakinya terpeleset dari ranting pohon rambutan, badannya limbung dan terjatuh
menimpa pagar besi yang berada tepat di bawah ranting pohon rambutan tersebut.
Ujung besi pagar yang runcing menancap di rusuk dan pinggangnya. Dan ternyata
ujung pagar besi itu tembus sampai paru-paru. Istrinya, “mungkin khilaf”, menangis menyesali
kenapa suaminya harus naik ke atas pohon rambutan itu yang “menyebabkan” dia meninggal.
Saat seorang saudara bercerita kepada
saya tentang kejadian tersebut, saya berkomentar
“Mungkin malaikat mautnya memang
sudah menunggu di atas pohon rambutan itu, Da.” Jawab saya. Saya menjawab dengan nada serius, tapi saudara
tersebut tertawa. Mungkin beliau berfikir saya bercanda. Padahal saya bermaksud
sungguh-sungguh dengan ucapan “malaikat mautnya berada di atas pohon rambutan”.
Saya cepat meluruskan, takutnya orang
berpikir, saya menjadikan kematian orang lain sebagai bahan candaan.
“Ya, Uda,” lanjut saya, “Mungkin bukan
karena jatuh dan tertusuk pagar yang tembus ke paru-paru yang membuat beliau
meninggal, Tapi bisa jadi sebelum beliau terpeleset, roh di kakinya sudah di
cabut oleh malaikat. Sehingga kakinya menjadi lemas dan menjadi tidak kuat untuk
menopang berat tubuhnya itulah mungkin yang menyebabkannya terpeleset”.
Sebagian kita mungkin sering
mendengar, orang-orang yang medekati sakaratul maut, kakinya terasa dingin.
Karena roh dicabut secara berangsur-angsur dimulai dari kaki terlebih dahulu.”
Saya melanjutkan dengan nada serius.
“Iya, ya! Benar juga,” beliau akhirnya
terdiam mengangguk-angguk. Beliau sepertinya ikut berfikir serius juga
mendengar penjelasan saya.
“Saya seringkali memakai logika
terbalik Da!,” lanjut saya. “Pernah juga seorang teman saya meninggal saat
kecelakaan. Motornya menabrak angkot yang sedang berhenti. Motornya sampai “nyungsep” ke bawah kolong angkot.
Orang-orang heran bilang, “kok bisa ya dia menabrak angkot yang sedang
berhenti?” saya menjawab, “Mungkin saat itu nyawa di kakinya sudah dicabut
oleh malaikat. Jadi kakinya sudah tidak bisa lagi menginjak rem yang mengakibatkan
motornya menabrak angkot yang berhenti.”
Dari saat tabrakan jam 10 malam itu,
sampai jam empat pagi saat teman baik saya itu meninggal, beliau tidak sadarkan
diri. Saya merenungi, itulah saat-saat sakaratul maut yang harus dilaluinya
dalam perjuangan untuk menghadap Yang Maha Kuasa. Allah kemudian
mentakdirkannya meninggal dalam usia relative muda, 25 tahun, baru lulus kuliah
di salah satu STAI di Bogor, punya motivasi yang tinggi mengajarkan saya dan
teman-teman Bahasa Arab.
***
Saya seringkali memakai logika
terbalik saat mendengar cerita tentang seseorang yang meninggal akibat
kecelakaan atau sejenisnya. Sering kita dengar orang mengatakan seseorang
meninggal karena kecelakaan dan lain-lain. Saya sering menaggapi sebaliknya,
dia sudah meninggal terlebih makanya kecelakaan itu terjadi. Karena lama waktu
sakaratul maut berbeda-beda pada masing-masing orang. Ada yang waktunya
berlangsung cepat, dan ada juga yang berangsur-angsur dalam rentang yang lama.
Dimulai dengan dicabutnya roh dari kaki, menjalar ke atas sampai berakhir di
kerongkongan.
Sakaratul maut adalah saat yang
paling berat yang harus kita semua hadapi. Bahkan para nabi dan rasulpun
menjalani sakaratul maut yang lebih berat jauh melebihi beratnya sakaratul maut
yang dilalui umatnya. Sehingga kita disuruh untuk banyak-banyak berdo’a,
memohon diberikan kemudahan menjalani sakaratul maut tersebut. “Allahumma
hawwin ‘alaina fii sakaratul mauut”. “Ya Allah, berilah kami kemudahan dalam
melewati saat sakaratul maut.”
Maut adalah sebuah keniscayan. Salah satu
hal yang perlu diyakini adalah, bahwa
tidak ada orang yang meninggal karena sakit, atau meninggal karena kecelakaan,
ataupun sebab-sebab yang lain. Semuanya
pasti pasti karena ajalnya telah ditetapkan Allah sampai disitu. Kecelakaan dan
lain-lain hanyalah sebagai pengantar.
Wallahua’lam !!
0 komentar:
Posting Komentar