Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 01 Juli 2016

Neraka yang BahanBakarnya Manusia dan Batu



Neraka yang Bahan Bakarnya Manusia dan Batu
Saat wafatnya petinju legendaris Muhammad Ali beberapa waktu yang lalu, ada salah satu ungkapan Muhammad Ali yang cukup banyak dikutip media sosial yang membuat saya merasa merinding:
“Saya tidak merokok, tapi saya selalu membawa korek api di kantong celana. Setiap kali saya tergerak untuk bermaksiat, maka saya bakar satu batang korek api dan saya rasakan panasnya di telapak tangan. Saya pun berkata dalam hati, “Wahai Ali, menahan panasnya korek apai ini saja kamu tidak sanggup, bagaimana pula dengan dahsyatnya api neraka (Muhammad Ali 1942-2016).
Masyaallah, sebuah kesadaran yang sungguh menggugah dari seorang muallaf yang hidup di tengah-tengah dominasi non muslim. Lalu bagaimanakah neraka yang sangat ditakuti Muhammad Ali dengan sepenuh kesadaran dalam kesehariannya itu (semoga kita juga mempunyai kesadaran yang sama)?
Dalam surat Attahrim ayat 6 (QS 66:6), Allah berfirman, “Quu anfusakum wa ahliikum naara, wa quuduhannaasa wal hijarah…..”, yang artinya : “Selamatkanlah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”
**
Kemajuan teknologi dan kemudahan mengaksesnya telah membuat manusia dengan sangat gampang terhubung dengan hal apapun dan di manapun. Kemjuan teknologi menwarkan banyak kemuadahan dan peluang. Namun sebaliknya, kemajuan teknologi juga ternyata telah banyak merusak tatanan kehidupan. Menghancurkan sendi-sendi moral, agama dan etika.
Satu hal lebih mengkhawatirkan adalah rusaknya akhlak generasi anak-anak muslim. Kehancuran generasi serasa berada di ambang pintu. Media masa silih berganti memberitakan kejahatan yang menimpa anak-anak. Namun yang lebih menyedihkan justru adalah banyaknya kejahatan yang pelakunya justru anak-anak seperti kasus tawuran, pembunuhan sampai kejahatan seksual. Bahkan kejahatan seksual yang sangat mengerikan yang disebut-sebut oleh beberapa pihak sebagai kejahatan seksual paling sadis yang menimpa Eno Parihah baru-baru ini dilakukan oleh pelaku yang masih terkategori anak-anak..  
Lalu kenapa saat ini anak-anak semakin gampang terprovokasi melakukan kejahatan?
Yee-Jin Shin, seorang psikiatri asal Korea Selatan mensinyalir dunia digital menjadi penyebab utama timbulnya perilaku antisosial pada anak-anak yang mengkhawatirkan saat ini. Koneksi internet yang sangat gampang diakses, game online dan media sosial telah menciptakan dunia maya yang begitu luas. Dan semua itu saat ini seringkali difasilitasi orang tua ada di tangan anak.
Kesuksesan anak di dunia maya justru menyebabkan mereka terjauh dari dunia nyata. Anak mengalami kesulitan bersosialisasi. Anak merasa “dunia maya” itulah yang menjadi “dunia nyata”nya. Di dunia maya anak dapat berlaku sesukanya. Dia dapat memaki, menghina, menuliskan kata-kata kasar tanpa ada kontrol sosial. Kondisi semakin parah dengan konten yang terkandung  pada media internet. Mulai dari konten porno pada game online sampai pada situs-situs pornografi yang dengan sangat gampang untuk diakses. Psikolog Elly Risman mengemukakan bahwa tingkat kecanduan terhadap pornografi lebih berbahaya dari kecanduan narkoba. Apalagi kalau dilihat dari dampak sosialnya karena pencandu pornografi secara membutuhkan obyek untuk pelampiasan hasrat seksualnya.
Yee-Jin Shin dalam bukunya “Mendidik Anaka di Era Digital“ menuliskan bahwa adalah salah kaprah bila orang tua terlalu dini memperkenalkan dunia digital kepada anak-anak. Masa kanak-kanak adalah masa pematangan kecerdasan emosional dan mengembangkan kemampuan bersosialisasi serta koomunikasi.  Yee menyebutkan selama mungkin anak diperkenalkan dengan dunia digital akan semakin baik. Perlu digarisbawahi bahwa sebelum usia dua tahun anak tidak perlu sama sekali dilibatkan dengan dunia digital, termasuk dengan televisi. NAECY, organisasi pendidikan anak usia dini Amerika menegaskan di atas usia dua tahun anak-anak hanya boleh menonton televisi maksimal dua jam sehari dengan memberikan jeda yang memadai kepada anak. Ada fakta yang sangat menarik yang ditulis Yee dalam buku di atas, bahwa ternyata  para petinggi dan penemu teknologi internet di Silicon Valley mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang tidak memperkenalkan internet sama sekali sampai anak-anak mereka usia SMP.
Namun sayang, yang kita temukan hari ini adalah anak-anak kita terinfeksi dunia digital dan internet terlalu dini, termasuk juga dengan televisi dan play station. Kita menyimpan teknologi di telapak tangan mereka di saat mereka belum matang untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Saat mereka seharusnya lebih banyak bergerak dan menyalurkan energi mereka yang berlebih, mereka justru asyik menyendiri dan terbenam dalam dunia digitalnya. Hal ini justru berakibat mereka menyalurkan energy untuk hal yang tidak tepat.
Lalu bagaimanakah pertanggungjawaban orang tua sebagai pemegang amanah sekaligus pelindung dan penyelamat keluarga agar terhindar dari api neraka, yang bahan bakarnya secara  nyata disebutkan Allah SWT adalah manusia dan batu? Sementara panasnya nyala korek api saja belum tertanggungkan bagi kita untuk memegangnya seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ali di atas.
Kurangnya ilmu dalam mendidik anak, merupakan salah satu sebab ketidaktepatan orang tua dalam mendidik anak. Orang tua merasa aman-aman saja, membiarkan anak berinteraksi dengan perangkat digital tanpa sensor karena tidak memiliki pengetahuan bahaya yang dapat menimpa anak mereka. Tak mau repot serta ingin kerewelan anak cepat selesai, juga merupakan kondisi yang sering dijumpai yang membuat orang tua memfasilitasi anaknya dengan perangkat digital yang sebetulnya belum dibutuhkan oleh anak. Bila anak rewel, orang tua segera menyodorkan handphone sehingga tangisan anak reda. Bila ibu pengen memasak, maka cukup dengan menyetelken televisi, anak-anak akan segera diam dan ibu bisa melanjutkan aktifitasnya. Padahal seharusnya orang tua harus lebih kreatif mencari alternatif yang lebih mendidik. Hal lain yang juga sering kita temui adalah ketidakmampuan orang tua untuk bersikap tegas dalam menolak permintaan anak. Anak perlu dimotivasi membedakan tentang apa yang menjadi kebutuhannya dan apa yang sebetulnya hanya keinginan. Bila anak sudah bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan, mereka akan lebih gampang diarahkan. Dan yang lebih penting juga adalah membangun komunikasi yang yang positif antara orang tua dan anak sehingga anak memiliki  pemahaman dan rasa tanggungjawab yang baik.
Waalaha’lam Bishshawab
Bogor, 1 Juli 2016