Apakah Sastra Islam benar-benar ada?
Kalau ada seperti apa batasannya? Apakah sama Sastra Islam dengan Sastra
Islami? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih menjadi polemik dalam dunia
kesusasteraan Indonesia
Selama
ini istilah Sastra Islam masih disebut secara “malu-malu” dan terselubung oleh
para sastrawan Islam. Taufik Ismail menyebut Sastra Dzikir, Kuntowijoyo memakai
istilah Sastra Profetik, Danarto menggunakan istilah Sastra Pencerahan, M.
Fodoli Zaini menyebutnya sebagai Sastra yang terlibat dengan dunia dalam,
sementara Sutardji Caloum Bachri memberi istilah Sastra Transenden dan Abdul
Hadi W.M. mengistilahkan Sastra Sufistik, untuk karya-karya mereka yang berakar
dari wacana keimanan atau religiusitas yang dibawanya. Namun selain Abdul Hadi
W.M. tak satupun sastrawan di atas yang mengidentikkan penyebutan mereka dengan
Sastra Islam. (HTR, 2003).
Dalam
konteks Islam, semua yang dilakukan oleh seorang muslim merupakan bentuk dari
ibadahnya kepada Allah, termasuk dalam berkesenian dan bersastra. “Dan tidaklah
aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku”(QS.51:56).
Semangat yang terdapat dalam ayat tersebut harus menjiwai setiap karya yang
dihasilkan oleh seorang penulis Islam tentunya tanpa mengabaikan nilai
estetika, sehingga karya sastra yang ditulis tidak menjelma menjadi materi
khutbah jumat.
Sastra
Islam menurut Muhammad Pitchay Gani, pengamat sastra dari Singapura adalah
semua (bahan) kesusastraan yang dihasilkan oleh penulis yang beragama Islam
dalam menyadarkan pembaca tentang kebesaran Tuhan dan tanggung jawab diri
sebagai khalifah Allah. Sementara Sastra Islami menurut Kuswaidie Syafii,
seorang sastrawan muda yang berbasis pasantren, adalah sebuah karya sastra yang
memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan ajaran keislaman dan penulisnya bisa
siapa saja, tak harus orang Islam (HTR, 2003).
Penegasan
tentang adanya istilah “Sastra Islam” dan bahwa Sastra Islam itu eksis
dirasa sangat penting untuk mempertegas “Identitas Diri” dalam berkarya. Abdul
Hadi W.M. dalam sebuah seminar di Yogyakarta, Mei 2000, memberikan penegasan
dalam pertanyaan untuk direnungkan, “Sastra Hindu saja ada, mengapa Sastra
Islam tidak ada?”
Keprihatinan
Pada
tahun 1997, Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Mutmainnah dan beberapa teman dari
Fakulas Sastra, Universitas Indonesia bertemu di Mesjid Ukhuwah Islamiah,
Universitas Indonesia. Dalam pertemuan ini mereka membicarakan keprihatinan
mereka tentang kurangnya bacaan bermutu yang ada di masyarakat. Di sisi
lain sebetulnya cukup banyak anak muda yang ingin berkiprah di bidang
kepenulisan tapi potensinya kerap tidak tersalurkan atau intensitasnya masih
rendah karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan tulisan.Terlebih lagi
mereka yang hadir pada kesempatan itu menyadari bahwa menyampaikan gagasan
melalui tulisan adalah sangat efektif. Dalam pertemuan tersebut disepakati
untuk mendirikan organisasi kepenulisan. Secara resmi pada tanggal 22 Ferbruari
1997 berdirilah organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena (FLP) dengan
Helvi Tiana Rosa (HTR) sebagai ketua umumnya.
Sampai
saat ini, anggota FLP diperkirakan berjumlah 7000 orang. Sekitar 700 orang
diantaranya adalah penulis aktif, yang telah menerbitkan lebih dari 600 buku.
Anggotanya tersebar di lebih dari 100 kota di Indonesia dan luar negeri.
Dilihat dari potensinya yang luar biasa ini, pantaslah sastrawan nasional
Taufik Ismail menyebutkan bahwa “FLP adalah hadiah Tuhan untuk Bangsa Indonesia”
dan Koran Tempo menyebut bahwa “FLP adalah lokomotif penulis muda Indonesia”
Menulis
dalam tradisi kepenulisan FLP adalah bagian dari dakwah, refleksi dari misi
amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak untuk kebaikan dan melawan kemungkaran).
Secara tegas HTR sebagai pendiri FLP telah menggoreskan satu tapak yang cukup
kokoh "Tulisan haruslah berfungsi untuk mencerahkan diri sendiri dan
masyarakat."
Terlepas
dari polemik keberadaan Sastra Islam ataupun Sastra Islami, para penulis yang
tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) memperlihatkan lewat karya yang
dihasilkan bahwa Sastra Islam itu memang ada dan eksis. Sebut saja cerpen
Jaring-Jaring Merah karya Helvy Tiana Rosa yang mendapat penghargaan sebagai
salah satu cerpen terbaik dalam kurun waktu sepuluh tahun (1990-2000)
dari Majalah Sastra Horison. Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Sirazy
(Ketua FLP Mesir pertama), yang telah berkali-kali mengalami cetak ulang serta
difilmkan. Derai Sunyi yang ditulis Asma Nadia, yang mendapatkan penghargaan
dari Majelis Sastra Asia, serta masih banyak judul buku yang ditulis oleh
anggota FLP lainnya yang berhasil memperoleh penghargaan sastra bergengsi baik
lokal maupun nasional.
(Irna
Syahrial, aktivis FLP Bogor)
Dimuat
di rubrik Esai. Islam Digest, Republika, Minggu, 30 Juni 2013.
0 komentar:
Posting Komentar