Israel Daniel
21.53
galerikaryaflp
Cerpen Irna Syahrial (Republika, 3 Juni 2012)
POPOR senapanku
terangkat. Mataku beradu dengan mata wajah polos di hadapanku. Rasa
benci tiba-tiba menjalari hatiku membalas tatapan kebencian bocah
delapan tahunan, yang mengacungkan batu sekepalan tangan ditujukan
kepadaku.
“Dia
musuh masa depanmu, merampas tanah yang seharusnya hanya milikmu.”
Suara Rabbi Shahak seolah-olah berdesis di telingaku. “Antisemit dan
primitif,” lanjutnya berulang-ulang, hampir setiap hari sambil
memperagakan gerakan mencium Tembok Ratapan. Mungkin saat itu aku baru
lima tahunan.
Suara-suara
mengejekku dari belakang seolah-olah aku tidak berani menghadapi bocah
Palestina ingusan ini, semakin memicu amarahku. Kukumpulkan rasa marah
itu di ujung pelatuk pistolku. Senapanku menyalak sebelum batu di
tangannya bersarang di mata kiriku. Aku masih sempat melihat peluruku
begitu jitu menembus dada kirinya. Darah segar muncrat membasahi seragam
sekolahnya.
Anak
itu meneriakkan sepenggal kalimat bahasa Arab yang sering
dikumandangkan di masjid-masjid. Tak ada rasa takut sedikit pun dari
suaranya. Seakan dia bangga menjemput maut setelah menghadang tank kami
di jalanan hanya dengan batu di tangan. Sendirian! Kepalaku terasa
berputar. Batu dari tangan bocah itu seperti membuat bola mataku pecah.
Rasa kebencian yang terpancar dari sorot mata bocah Palestina itu
ternyata mampu menghasilkan energi yang luar biasa dahsyat. Bocah itu
telah lebih dahulu rebah sebelum akhirnya aku juga terjerembap,
bersimpuh memegang mata kiriku.
Sebelum
benar-benar gelap, sesosok bayangan wanita seperti melintasi
pandanganku. Tangannya berusaha menggapaiku. Namun, akhirnya dia jatuh
tertelungkup menimpa tumpukan tubuh di hadapannya. Kelebatan itu
terlihat seperti nyata. Aku menangis sekuat tenaga ditarik seseorang
dengan keras menjauhi tumpukan tubuh bermandikan darah. Sketsa
mengerikan itu mengantarku ke dalam lengang.
Sesaat
kesadaranku hilang. Hanya terdengar suara gaduh, ingar-bingar yang
jauh, lalu diam. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku tersadar
kembali saat mendengar suara tembakan beruntun beberapa kali. Aku
berusaha membuka mata walau kepalaku terasa berat. Aku bergidik! Tubuh
bocah kecil itu ternyata sedang ditembaki beramai-ramai oleh
rekan-rekanku. Tubuh bersimbah darah itu berkedut beberapa kali setiap
timah panas menembus tubuhnya, sampai akhirnya dia mengejang. Sepertinya
semua rekan-rekanku tak ingin kehilangan momen berharga mengakhiri
riwayat bocah kecil penggenggam batu yang berani-beraninya melawan
tentara Israel hanya dengan batu di tangan. Mungkin masih terlalu dini
baginya untuk tahu sepak terjang Stern, Irgun, dan Haganah dulu
menghancurkan De’ir Yasin [1].
Aku
tercekat dengan pemandangan mengerikan di hadapanku. Aku ingin
berpaling, tapi entah mengapa tangan Rabbi Shahak terasa seolah-olah
mengelusku, memberi kekuatan dan memberkati hari pertamaku bertugas
dalam wajib militer.
Anggota
patroli yang belum semuanya kukenal baik kembali berlompatan menaiki
tank-tank dengan wajah terlihat puas sambil melempar joke penuh
cemoohan kepada bocah Palestina yang baru saja kami habisi. Perjalanan
dilanjutkan untuk mengontrol pelaksanaan jam malam yang sebentar lagi
akan diberlakukan.
Aku lebih banyak diam saat mata dikompres. Ada sedikit rasa shockdi
hatiku dengan pemandangan yang baru aku alami dan aku terlibat langsung
di dalamnya. Selama ini aku hanya mendengar cerita dari teman-temanku
yang ikut wajib militer.
“Jangan
terlalu dipikirkan, Daniel,” Mitchel Fisk, teman sefakultasku yang
telah lebih dahulu memasuki wajib militer menepuk bahuku.
“Saat pertama kali ikut patroli aku juga mengalami shock yang
sama sepertimu. Nanti juga kau akan terbiasa,” Fisk menawarkan permen
karet di tangannya. “Lumayan, untuk mengurangi stres,” ujarnya. Aku
terdiam sembari mengunyah permen karet. “Apa mungkin aku nanti akan bisa
terbiasa dengan kondisi ini?”
Tank-tank
kami melewati pinggiran kota, menyusuri tembok pembatas yang membelah
Yerusalem. Tembok sepanjang seratus tiga puluh kilometer dengan tinggi
sepuluh meter yang dulu dibangun atas inisiatif Perdana Menteri Ariel
Sharon ini terlihat begitu angkuh dengan sistem monitor canggih yang di
pasang di atasnya.
Di
ujung jalan yang tidak bertembok pembatas, banyak warga Palestina
sedang antre untuk melewatinya. Para tentara Israel bersiaga di sana.
Semua warga diperiksa, mulai dari cek kartu identitas, digeledah, bahkan
sampai ke pakaian dalam.
Aku
melirik jam tanganku. Tinggal lima menit lagi menjelang jam lima saat
akan diberlakukannya jam malam. Tapi, sepertinya masih banyak warga
Palestina yang belum menyadari percepatan jam malam kali ini. Karena,
memang perubahan ini diambil tiba-tiba saja tanpa alasan yang jelas oleh
pimpinan IDF [2] wilayah Tepi Barat.
Ini
bukanlah kali pertama adanya perubahan jam malam tanpa sosialisasi.
Walaupun aku seorang Israel, tapi ini suatu yang kurang masuk akal
dilakukan organisasi sekaliber IDF. Tapi, aku tak punya waktu untuk
berpikir lebih lanjut.
Di
ujung jalan, di persimpangan ke arah perumahan Ramat Shlomo, seorang
laki-laki berkafiyeh berjalan dengan arah menjauhi pemukiman.
“Wah, ini jatah kita nih!” seru Tom Shlaim, perwira menengah yang duduk di bagian depan tank tergelak senang.
Lewat
satu menit dari jam lima! Ini adalah kartu mati bagi warga Palestina
yang masih berada di luar rumah. Kami berlompatan ke depan pria
berjanggut yang terlihat kaget dengan kedatangan kami.
“Anda
melanggar jam malam,” komandan patroli kami Mayor Ehud Oron menodongkan
senapannya hanya berjarak sepuluh senti di depan kening lelaki itu.
“Keluarkan kartu identitas!”
“Geledah!”
suara mayor yang pernah ikut membuldoser orang-orang Palestina di
lokasi penampungan pengungsi sipil dalam Operasi Jenin pada 2002 itu
menggelegar.
Serdadu-serdadu
berlompatan dari atas tank-tank seperti serigala lapar melihat rusa
yang terkepung, menyeringai siap menerkam. Mereka berlomba mendekati
lelaki separuh baya itu yang dengan tenang melirik jam tangannya.
Sepertinya dia menyadari telah ada perubahan jam malam yang dipercepat
secara sepihak oleh Israel.
Laki-laki
itu tersenyum samar seperti paham dengan jebakan Israel kali ini.
Senyumnya ternyata justru membuat kemarahan serdadu Israel menggelegak.
Bertubi-tubi pukulan dan tendangan keroyokan mendarat di perut dan
pelipis laki-laki itu. Laki-laki itu terbungkuk menahan sakit. Tubuhnya
sempoyongan. Darah segar menghambur dari mulutnya.
Melihat
lawan makin tak berdaya, gerombolan pasukan Israel makin beringas
menghajar laki-laki itu tanpa ampun. Sungguh sebuah aksi tanding yang
sangat tak berimbang.
“Ayo Daniel!” teriak Mitchell dengan isyarat tangannya agar aku ambil bagian dalam aksi ini membuatku tergagap.
“Adalah
tugas mulia kita, menyediakan ‘tanah tanpa manusia untuk manusia tanpa
tanah [3]’,” teriak Mitchell lagi. Kalimat itu telah kudengar hampir
setiap hari saat aku melewati hari-hariku di Kibbutz [4]. “Yoshua datang
dan memusnahkan penduduk Jericho [5] adalah misi Tuhan! Tidak boleh ada
satu orang pun dari mereka yang tersisa!” jawaban seperti itu selalu
diberikan Rabbi Shahak sambil membuka Perjanjian Lama saat aku bertanya
mengapa Israel harus terus-menerus menghabisi Palestina.
Aku
masih terpaku saat tubuh laki-laki Palestina itu oleng. Aku tercekat
ketika sebuah hantaman keras senjata laras panjang seorang serdadu
Israel menghajar tengkuk lelaki itu yang membuatnya tersungkur di tanah.
Rasa
kagetku belum hilang saat Letnan Moshe Ildad melompat ke atas tank.
Berteriak menyuruh pasukan Israel menghindar dari tubuh lelaki Palestina
itu dan bersiap menjalankan tank. Aku menahan napas di tengah sorak
riang pasukan Israel menyemangati Ildad. Tank bergerak seperti sebuah
tarian maut yang gemulai, menikmati setiap putaran rodanya menuju tubuh
yang tergolek tak berdaya di jalanan beraspal dan siap menggilasnya.
Aku
menutup mataku tak hendak melihatnya. Namun, pemandangan yang tak kalah
mengerikan hadir menggantikan. Di depan mataku, siluet tumpukan tubuh
laki-laki dan perempuan tumpang tindih. Dan, perempuan terakhir yang
mencoba menggapaiku tersungkur, berteriak keras melihat buldoser
mendekat ke arahnya. Pemandangan berikutnya tak dapat kusaksikan kecuali
teriakan histeris perempuan itu serta suara-suara jerit kesakitan yang
menyayat, mungkin dari tumpukan tubuh manusia itu. Aku tidak dapat
menyaksikannya lagi, karena tubuhku ditarik seseorang dengan keras dan
dipalingkannya.
Aku
refleks membuka mata mendengar raungan keras keluar dari mulut
laki-laki yang setengah jam lalu masih berdiri gagah di hadapan kami,
saat roda-roda tank mulai menyentuh tubuhnya. Aku menahan napas melihat
cairan putih berloncatan keluar dari kepala laki-laki itu. Tubuh itu
kini tak berbentuk. Serpihan daging dan genangan darah membanjirinya.
Aku menelan ludah pahit. Serdadu-serdadu Israel bersorak dan bertepuk
tangan menyalami Ildad, seolah mayor itu telah berhasil melaksanakan
sebuah misi penting. Setelah itu mereka kembali berlompatan ke atas tank
bersiap mengakhiri patroli hari ini.
***
Aku
mengempaskan tubuh di tempat tidur masih mengenakan seragam wajib
militer. Rasa pusing dan mual menyesaki perutku. Sungguh sebuah hari
yang melelahkan pada hari pertamaku menjalani wajib militer ini.
Aku
berusaha menutup mata. Namun, bayangan kejadian hari ini memenuhi
pikiranku. Anak kecil pelempar batu, tubuh laki-laki Palestina yang
hancur, serta sebuah bayangan perempuan yang berulang kali muncul, entah
dari mana asalnya, berusaha menggapaiku di tengah tumpukan manusia
tumpang tindih dalam genangan darah. Bayangan terakhir awalnya masih
samar, namun makin lama terlihat semakin jelas. Aku mengumpulkan segenap
ingatanku untuk memahami bayangan itu. Sebuah tanya bolak-balik
menghantuiku. Siapa perempuan di tengah tumpukan manusia itu? Entah
mengapa perlahan-lahan ada perasaan dekat yang kurasakan saat aku
kembali membayangkan wajah perempuan itu. Lalu, mengapa pula aku ada di
tengah tumpukan manusia itu?
Aku
bangkit menuju ruang kerja Rabbi Shahak. Hari ini ada pertemuan penting
di Sinagog Khabaar dan Rabbi Shahak akan mengikutinya mungkin sampai
pagi. Tumpukan buku-buku terlihat memenuhi ruangan dan meja.
Seingatku,
selama aku diasuh Rabbi Shahak semenjak usiaku sekitar empat tahunan,
baru beberapa kali aku memasuki ruang kerja Rabbi Shahak ini. Walaupun
Rabbi Shahak terlihat sangat sayang padaku, namun sikapnya sangat
tertutup. Banyak hal yang sepertinya ingin disembunyikannya dariku,
termasuk keberadaanku di rumahnya sampai saat ini. Dia akan diam seribu
bahasa kalau aku bertanya tentang masa kecil dan asal-usul keluargaku.
Rabbi Shahak hanya mengatakan bahwa aku adalah “malaikat” yang dikirim
Tuhan kepadanya untuk menjadi “pahlawan” bangsa Israel membebaskan
“Tanah Terjanji”.
Mataku menyapu seluruh ruangan. Sebuah diary lama
dengan sampul penuh debu yang tergeletak di ujung lemari menarik
perhatianku. Tak ada yang istimewa yang tertulis di buku itu. Hanya
seputar kegiatan harian Rabbi Shahak mengajar dan memberikan ceramah di
beberapa sinagog dan pertemuan. Aku membolak-balik buku itu tanpa minat.
Beberapa halaman yang ditulis dengan tinta merah walaupun buram menarik
perhatianku.
15 November 1989
Akhirnya
pagi ini dia menikahi wanita Palestina itu dan menjadi Muslim. Dia
memilih tanggal ini katanya untuk hadiah ulang tahun kemerdekaan pertama
Palestina bagi istrinya.
“Sekaligus hari kemerdekaan bagiku,” ujarnya .
Dia telah menjadi Yahudi yang mengkhianati dirinya sendiri.
“Paham Zionisme berlawanan dengan nurani kemanusiaanku,” begitu alasannya.
“Walaupun aku adalah Israel tulen”, lanjutnya lagi .
“Tidak! Dia mengkhianati Israel, Tanah terjanji. Tak kan kubiarkan!!!”
Aku menahan napas. Mencari-cari tulisan bertinta sama.
15 Agustus 1990
Katanya
anaknya sudah lahir. Aku tak tahu kapan. Sebagai teman akrabnya dulu,
aku ditanyai teman-temanku dan juga teman-teman lamanya di sinagog.
Tapi, aku malah tidak tahu informasi itu. Apa yang bisa kulakukan?
Aku
mengernyitkan dahi. Teman akrab, siapa teman akrab Rabbi Shahak itu?
Aku melanjutkan membaca beberapa buku yang lain. Kondisinya hampir sama,
berdebu dan buram. Sebuah tulisan bertinta merah kembali menarik
perhatianku.
23 Maret 1994
Aku
ikut pasukan patroli. Mereka menyisir dan “membersihkan” lokasi sekitar
Al Quds. Itu tempat tinggalnya beserta istrinya. Pasukan yang luar
biasa. Mereka mampu “mengosongkan” penduduk wilayah itu walaupun
sebagian harus dengan buldoser.
Yang
kucari akhirnya kudapatkan. Wajah bocah itu sangat mirip dengan wajah
ayahnya. Anak itu berhasil kupisahkan dari ibunya. Kudekap dia agar tak
melihat ayah ibunya dibuldoser.
Sekarang
dia anakku. Tidak ada lagi Al Hamid Ibrahimi. Kau sekarang adalah
Israel Daniel! Akan kujadikan kau Yahudi sejati pengganti ayahmu yang
pengkhianat.
Israel Daniel! Refleks aku melihat banner nama di dadaku. Israel Daniel!
Aku
terduduk lesu. Beribu tanda tanya memenuhi kepalaku. Bagaimana mungkin
Israel Daniel itu adalah Al Hamid Ibrahimi? Dan, itu adalah aku!
Bayangan
tumpukan manusia itu kembali hadir di mataku. Sekarang dapat kulihat
dengan jelas wajah kelebatan wanita itu. Wajahnya begitu panik menyadari
aku terlepas dari tangannya dan berusaha merebutku kembali dari tentara
Israel yang telah merenggutku dengan paksa dari sisinya. Dan, ternyata
wanita itu adalah ibuku!
Kepalaku
terasa pusing. Bagaimana mungkin Rabbi Shahak yang selama ini aku
hormati ternyata memiliki andil yang sangat besar menghancurkan
keluargaku, membuldoser ibu bapakku? Begitu rapinya Rabbi Shahak
menyimpan rahasiaku demi menjadikanku seorang Israrel. Aku bingung dan
tidak mampu memahami perasaanku saat ini. Rasa mual dan benci menyesaki
dadaku.
Aku meraba gagang pistol di pinggangku. Aku mencabut bannernama
di dadaku. Dalam lengang aku melihat bocah delapan tahunan penggenggam
batu dengan tubuh bersimbah darah itu menjelma dalam diriku. (*)
.
.
Bogor, 20 Juni 2010
.
Keterangan:
[1]
Pembantaian sangat keji di Desa De’ir Yasin oleh Israel pada 9 April
1948. Aksi keji ini menewaskan lebih dari 360 orang dari total penduduk
600 jiwa.
[2] Tentara Nasional Israel.
[3]
Semboyan kaum Zionis Israel untuk menjadikan tanah Palestina kosong
sama sekali sehingga dapat disediakan bagi bangsa Israel yang mereka
anggap tidak punya tanah.
[4] Tempat-tempat pemukiman kolektif di Israel dengan sistem kepemilikan bersama.
[5]
Salah satu kisah dalam Kitab Perjanjian Lama yang disitir secara salah
dan disalahgunakan Zionis sebagai pembenaran tindakannya membantai
penduduk Palestina.
DOWNLOAD
DOWNLOAD
0 komentar:
Posting Komentar