Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 01 April 2014

(Cerpen) Maafkan Bunda, Anakku! (sebuah kisah ibu dengan anak autis)



Maafkan Bunda, Anakku!
Oleh : Irna Syahrial (FLP Bogor)
(Dimuat di Majalah UMMI)
“Ayah aja ya, yang ambil formulir Dani ke sekolah. Bunda nggak enak badan,” ujarku pada suamiku pagi itu.
 “Kenapa sih, Bunda nggak mencoba untuk tidak menjadikan hal ini sebagai beban pikiran yang berlebihan,”jawab suamiku dengan nada sedikit mengeluh.
Aku diam saja memandangi suamiku yang bersiap-siap ke kamar mandi.                
Jam delapan pagi suamiku berangkat. Setelah menutup pintu pagar, aku masuk kembali ke rumah. Dani, putraku satu-satunya sedang asyik bermain PS. Minggu-minggu terakhir ini waktunya banyak dihabiskan dengan permainan itu.
Kepalaku terasa berat. Aku masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Mataku terpaku pada foto keluarga yang dipasang di dinding kamar. Foto itu diambil dua tahun yang lalu waktu Dani berumur dua tahun. Aku tersenyum menatap Dani. Kata orang-orang wajah Dani sangat mirip dengan wajahku. Mukanya oval, serasi sekali dengan hidungnya yang mancung. Kulitnya yang putih bersih, sangat menggemaskan. Saat kutatap matanya, terasa ada yang miris di hatiku. Mata Dani yang indah itu nyaris tidak pernah menatapku. Hampir tidak pernah Dani bertatapan denganku bahkan sampai 4 tahun usianya kini. Kadang aku merindukan dia membalas tatapanku saat aku memandangi dan menciuminya. Beberapa kali kucoba memaksa, mukanya kupegang, kuhadapkan ke wajahku,

“Lihat Bunda, Dan!” pintaku. Dani cuma melihat sepintas, kemudian matanya kembali berputar-putar menatap apa yang ada di sekelilingnya.
Dani juga memiliki kebiasaan yang cukup aneh. Dia sangat suka bermain dengan benda yang berbentuk bulat pipih. Mulai dari uang logam, koin, tutup botol, roda mobil-mobilan, sampai tutup panci. Bahkan jam dinding yang berbentuk bulat tidak bisa dipajang di dinding karena dia akan memintanya. Semua benda piupih itu disusun berjejer-jejer sambil diperhatikan dengan seksama dan berulang-ulang. Dani bisa bermain dengan benda-benda bulat itu sendirian sampai berjam-jam lamanya.
Mungkin karena kesibukan kami bekerja, kami terlambat menyadari keganjilan Dani dalam bersikap dan berinteraksi dengan lingkungan. Saat Dani berusia dua setengah tahun tapi belum  mampu mengucapkan kata yang berarti, kami belum menyadari bahwa itu adalah gejala yang harus diwaspadai.
Ketika anak-anak lain menangis ingin ikut bila melihat orang tuanya berangkat, Dani hanya cuek  saja. Alangkah naifnya kami di waktu itu, kami justru merasa Dani lebih cepat dewasa dibandingkan anak-anak seumurnya.
Waktu berumur 3 tahun, Dani sedikit bisa bicara. Namun kami masih menganggapnya normal walaupun dia sering mengucapkan “mama” hampir ke semua wanita dewasa yang menggendongnya. Dani juga tidak bisa mengenaliku jika aku berada di tengah-tengah ibu-ibu yang sama-sama berkerudung. Dani akan berkeliling-keliling mencariku walaupun dia sudah melewatiku beberapa kali. Yang membuatku sangat sedih, Dani sepertinya tidak mengenali namanya sendiri. Dia tidak merespon sama sekali kalau dipanggil.
***
Jam satu malam aku terbangun ketika kudengar Dani mengoceh sendiri. Dia memang sering terbangun malam dan bermain sendiri terkadang sampai pagi. Dani turun dari tempat tidurnya dan mengambil mainan bulatnya. Kemudian dia menyusun berjejer-jejer dengan sangat teliti dan rapi seperti biasa. Kemudian dia berjalan mengelilinginya. Mula-mula pelan, makin lama makin cepat. Dani berlari-lari mengelilingi mainannya, kencang seperti gasing. “Dani udahan! Nanti Dani pusing,” kata ayahnya mencoba menghentikan Dani. Dani tidak mendengarkannya, dia terus saja berputar.
“Dani, sudah nak. Kalau pusing kepalanya nanti bisa terbentur di lantai,” kataku berusaha menangkapnya, tapi terlepas, dia licin seperti belut. Dani bahkan berlari semakin kencang. Di mataku, Dani terlihat hanya seperti bayang-bayang. Terlihat tapi tidak bisa ditangkap. Mataku kabur berpendar mengikuti posisi Dani yang berpindah-pindah sangat cepat. Aku terpaku di dalam pusaran lingkaran Dani. Air mataku menetes.
Aku menangis, benar-benar menangis dari lubuk hatiku. “Anakku satu-satunya, apa yang tengah dialaminya?” Suamiku juga diam terpaku. Kami berdua hening, larut dalam pikiran masing-masing.
Sudah setengah jam lebih Dani berputar-putar. Tiba-tiba dia berhenti mendadak. Tanpa perlambatan sedikitpun. Aku ternganga. Dia tidak pusing. Tersenyum senang. Dia kemudian mengambil mainannya. Lambat-lambat aku mendengar tawa Dani. Tawanya lucu, riang dan menggemaskan, namun di telingaku terdengar begitu menyayat, seperti tembang kepedihan mewakili kegalauan hati seorang ibu.
***
“Dari hasil serangkaian tes serta gejala-gejala yang diperlihatkannya, besar kemungkinan putra ibu mengalami autis,” kata dr. Hadi, dokteer yang kami kunjungi. Aku dan suamiku saling pandang tidak mengerti. Dr. Hadi sepertinya memahami kebingungan kami.
“Penyakit autis muncul akibat kelainan di susunan saraf otak. Ditandai dengan adanya kelainan perilaku dan respon yang sangat minim terhadap lingkungan. Penyebab utama diperkirakan karena faktor genetik. Selain itu ada kemungkinan akibat imunisasi, kebocoran usus, alergi protein tertentu, atau keracunan logam berat. Penyandang autis seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Perilakunya tidak berkembang serta tidak mampu memahami instruksi.”
“Apakah masih mungkin dipulihkan, Dok?” suamiku bertanya penuh harap.
Aku menarik nafas panjang, kecemasan menyergapku membayangkan masa depan Dani.
“Dari beberapa metoda terapi yang telah diaplikasikan, 50 % penderita dapat sembuh, bahkan benar-benar bisa hidup normal. Ini adalah suatu kemajuan yang menggembirakan, karena sebelumnya dianggap anak autis  tidak punya harapan sembuh sama sekali. Namun ini tergantung berat-ringannya penyakit yang dideritanya.”
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk terapinya , Dok?”
“Diperlukan waktu sekitar 2-3 tahun, dengan catatan harus konsisten. Minimal  8 jam sehari atau 40 jam seminggu atau maksimal selama anak terjaga.”
“Lama juga ya , Dok ” ujarku pelan seolah hanya untuk diriku sendiri.
“Ya, memang, Namun bukan berarti tidak bisa dilaksanakan” jawab dokter Hadi. “Untuk  membantu, selain terapi putra ibu dapat juga dimasukkan ke sekolah SLB khusus autis.”
Aku terperangah. Masuk SLB? Bukankah itu sekolah khusus anak-anak cacat? Aku yang sedari kecil selalu menjadi bintang kelas, siswa teladan dari SD sampai SMA, luluan terbaik fakultas dari perguruan tinggi favorit di Indonesia, bagaimana mungkin  memiliki anak yang sekolah di SLB? Apa kata orang-orang nanti?  
 ***
 “Sepertinya memang harus ada yang kita korbankan untuk kesembuhan Dani, Bunda!” Sebelum tidur suamiku mengajakku berbicara.
“Agar kita bisa melaksanakan terapi secara konsisten setiap hari, bahkan selama Dani terjaga  untuk jangka waktu yang bertahun-tahun , rasanya tak mungkin tugas itu kita serahkan kepada Bi Irah.”
Bi Irah adalah pembantu kami yang mengasuh Dani dari kecil
“Maksud ayah bagaimana?” tanyaku.
“Bagaimana kalau Bunda berhenti bekerja  agar pengobatan Dani bisa optimal? “ tanya  suamiku hati-hati.
Aku terdiam. Berhenti bekerja? Mengorbankan karir yang sudah kubangun sejak 8 tahun yang lalu? Haruskah aku melepaskan jabatan manajer produksi  pada perusahaan makanan instant terbesar di Indonesia ini? Alangkah sayangnya income Rp. 15 juta rupiah per bulan yang selama ini sangat berperan menopang ekonomi keluargaku. Bagaimana mungkin aku bisa hidup dengan hanya mengandalkan gaji suamiku yang berprofesi sebagai PNS?
Delapan tahun yang lalu, cuma aku satu-satunya sarjana “fresh graduate” yang diminta langsung oleh perusahaan untuk bekerja bahkan sebelum aku diwisuda.
“Selamat ya In, udah cum laude, lulusan terbaik fakultas, langsung dapat kerja lagi, tanpa harus ngelamar dulu,” teman-teman berkomentar kagum dengan prestasiku saat kami makan-makan sehabis wisuda dulu.
Ah, apakah semua ini harus aku tinggalkan?    
“Ayah dapat memahami perasaan Bunda. Tapi Dani lebih membutuhkan Bunda. Kepekaan naluri seorang ibu akan sangat membantu untuk kesembuhan Dani,” ujar suamiku lembut. Keteduhan matanya sedikit meredakan gejolak penolakan yang disuarakan hatiku.
***
Dua bulan sudah aku berhenti bekerja.. Rasa bosan mulai menguasaiku. Setiap hari pekerjaanku hanya menemani Dani. Namun keberadaanku rasanya tidak diacuhkan sama sekali oleh Dani. Bila dia membutuhkan sesuatu, dia akan menarik-narik tangan Bi Irah walaupun aku ada di sampingnya. Aku merasa kehilangan anakku.
Seperti kejadian pagi itu, Dani menarik-narik baju Bi Irah. Aku tahu pasti dia menginginkan sesuatu.
“Kenapa Dan, Dani mau apa? Sini Bunda yang ambilin,” bujukku sambil berusaha melepaskan tangan Dani dari Bik Irah.
Dani sepertinya tidak mendengarkanku dan semakin mengeratkan pegangannya pada Bi Irah.
“Iya Dan, sama Bunda tuh! Dani mau ambil sepeda bukan?” Bi Irah juga berusaha membujuk.
Dani bersuara “ Ahh, ah,” tapi tetap tidak mau melepaskan pegangannya. Pandangannya lurus keluar. Kosong.
Aku membungkuk untuk menggendongnya. Dani mengibaskan tanganku, tetap tanpa ekspresi sama sekali. Sedikit memaksa, aku melepaskan tangan Dani dari Bi Irah. Langsung kudekap dan kugendong dia. Tak kupedulikan tangannya yang menggapai-gapai Bi Irah.
Kerinduanku akan respon Dani bahwa dia membutuhkanku, bahwa dia mempedulikanku, membuatku mengabaikan penolakan Dani. Dani menjerit-jerit histeris. Dia meronta lebih keras. Tenaganya ternyata cukup kuat untuk membuat peganganku terlepas. Dengan sebuah hentakan keras Dani melepaskan diri dariku. Dani berlari ke Bi Irah yang langsung memeluk dan menggendongnya. Bi Irah mengusap-usap punggung Dani berusaha menenangkannya. Tangisan Dani mulai mereda. Aku terdiam melihatnya. Air mataku mengalir. “Anakku tidak membutuhkanku,” tiba-tiba saja pikiran itu melintas menguasa benakku.
“Ditidurkan aja dulu, Bi!” ujarku menyembunyikan getar kepedihan dalam suaraku. Aku masuk ke kamar menumpahkan sesak di dada lewat butiran air mata yang mengalir deras.
***
“Dani tidak membutuhkan Bunda, Yah!” perasaan kecewaku kutumpahkan pada suamiku menjelang tidur malam itu. Air mataku menetes menceritakan kejadian tadi siang.
“Yah, Ayah juga mengerti perasaan Bunda,” kata suamiku mencoba memahamiku. “Namun dari buku-buku yang ayah baca, anak autis memang sulit untuk menerima perubahan. Ayah rasa penolakan Dani tidak terkait dengan perasaan. Emosi yang mereka miliki sangat minim. Mereka terkadang seperti robot, terlatih berulang-ulang untuk hal yang sama dengan cara yang sama. Selama ini Dani sudah sangat terbiasa bila menginginkan sesuatu dengan cara menarik-narik tangan Bik Irah, Dani menjadi bingung saat Bunda berusaha untuk mengalihkannya. Akibatnya dia menjadi ketakutan dan histeris.”           
“Tapi rasanya hampa Yah, menerima penolakan anak sendiri,” aku berkata pelan, mencoba mengurai perasaan terabaikan yang kurasakan akibat penolakan Dani. Rasioku belum mampu sepenuhnya memahami penjelasan suamiku.
“Ayah tidak mengecilkan arti pengorbanan Bunda yang telah berhenti bekerja. Tapi waktu 2 bulan mungkin belum cukup dibandingkan dengan 4 tahun yang telah dihabiskan Dani bersama Bi Irah. Untuk membantu mempercepat perkembangannya mungkin memang sebaiknya Dani kita masukkan ke SLB, Nda,.”
“Tapi Yah, rasanya Bunda belum siap kalau Dani harus masuk SLB. Bagaimana kita manghadapi pertanyaan orang-orang. Apa mereka tidak akan memandang rendah kita memiliki anak yang cacat. Bunda nggak sanggup, Yah!” aku menelungkupkan kepalaku ke bantal. Begitu berat rasanya beban di kepalaku.
Suamiku menarik nafas panjang.
“Kenapa kita harus takut dengan anggapan orang-orang. Kita menjadi tidak adil mengorbankan  Dani, dengan tidak memberikan pendidikan yang semestinya hanya untuk menjaga nama baik kita di depan orang lain.”
Aku terdiam lama. Ucapan suamiku terasa menghakimiku. Namun aku mengakui kebenaran ucapannya.
“Yah…Terserah Ayah, deh!” kataku akhirnya dengan berat hati.
***
Aku tertidur cukup lama. Pikiranku terasa lelah. Jam 12 siang aku terbangun. Aku keluar kamar, ternyata Dani masih main PS. Bik Irah sibuk memasak.
“Dari jam 7 tadi   Dani belum berhenti main PSnya, Bi?” Tanyaku pada Bi Irah.
“Iya Buk, tadi disuruh berhenti tapi malah ngambek”
Begitulah Dani. Bila dilarang atau PSnya dimatikan, dia akan menjerit-jerit. Aku menjadi pusing. Pikiran lelah dan kecewa terhadap Dani yang kurasakan akhir-akhir ini membuatku membiarkan saja Dani sibuk dengan PSnya.
Siang ini aku berencana untuk membezuk Dian, anak Mbak Dini teman sekantorku dulu, yang sekarang dirawat di rumah sakit. Setelah shalat zuhur aku berangkat.
Mbak Dini terlihat kurus. Tiga bulan lebih aku tidak bertemu setelah dia berhenti bekerja karena anaknya diketahui mengidap kanker otak.
Aku terenyuh melihat kondisi Dian. Berbagai macam selang terpasang di tubuhnya Tubuh itu sekarang sangat kurus dengan tulang pipi yang menonjol. Padahal dulu sebelum sakit Dian gemuk dan lucu, juga sangat lincah. Rambut Dian yang dulu ikal dan tebal, sekarang juga rontok sama sekali.
“Akibat kemotherapi, In.” Mbak Dini seolah mengerti jalan pikiranku. “Bahan-bahan kimia yang sangat keras yang dimasukkan ke tubuh Dian, di tubuhnya terasa sangat panas mengakibatkan semua rambutnya rontok,” suara Mbak Dini terdengar tabah.
 “Tapi Mbak Dini sangat tabah, ya,” ucapku tulus.
“Nggak juga , Intan. Pada awalnya saya tidak sanggup melihat keadaan Dian. Tapi justru dia yang menyemangati saya. Walaupun Dian baru 12 tahun, tapi ketabahannya luar biasa,” mata Mbak Dini berkaca-kaca.
“Anak adalah anugerah, dalam keadaan apapun. Pernyataan itu sangat benar. Bahkan dalam sakitnyapun dia bisa menjadi pengingat kita. Dokter mengatakan kankernya sudah menjalar sampai ke paru-paru. Kemotherapinya juga tidak memperlihatkan hasil. Harapan hidup Dian paling lama hanya enam bulan lagi. Namun dalam kondisi seberat itu Dian masih mampu mengingatkan saya, “Mama tabah ya. Kata bu guru setiap yang hidup pasti meninggal. Kita harus ikhlas. Mama nggak boleh nangis lagi, ya.” Mbak Dini tak mampu menahan airmatanya. Airmatakupun tak mampu kutahan.
***
Ucapan Mbak Dini terngiang terus di telingaku, Anak adalah anugerah, dalam keadaan apapun.  
Wajah Dani menari-nari dalam benakku. Aku sangat merindukannya.
 Keikhlasan! Ya Allah! Betapa jauh kata itu dari diriku. Betapa egoisnya aku selama ini.
Dering hp dari dalam tas memutuskan lamunanku.
“Bu, cepat pulang! Dani kejang-kejang, dia pingsan,” napas Bi Irah memburu panik.
Badanku terasa melayang. Pandanganku nanar. Mobil-mobil dihadapanku terlihat samar. Kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku tidak memperdulikan teriakan orang-orang melihat aku menyalip mobilnya tanpa pertimbangan.
“Dani, maafkan, Bunda, Nak!” aku menjeritkan kata itu dalam hatiku.
Kuparkir mobilku sembarangan di depan rumah. Aku melompat masuk. Bik Irah tengah mengelap cairan putih yang keluar dari mulut Dani.
“Cepat, Bi. Kita bawa ke rumah sakit,” aku dan Bi Irah menggotong Dani ke mobil.
Suamiku ternyata telah lebih dulu sampai di rumah sakit. Bergegas kami membawa Dani ke ruang ICU. Aku menangis dalam pelukan suamiku,
“Allah, beri aku kesempatan! Beri aku waktu untuk memperbaiki kesalahanku!”
Dokter menyuntikkan cairan kuning melalui dubur Dani. Perlahan kejangnya  mulai berkurang. Tubuh Dani terlihat melemah, dia tertidur. Kami menarik nafas lega.
“Maaf pak, apa Dani terlalu intens menonton televisi?” dokter bertanya setelah kondisi Dani agak tenang sambil membolak–balik  rekam medik Dani selama ini. Aku dan suamiku saling pandang. Aku mengingat-ingat.
“Kalau nonton televisi, nggak terlalu Dok. Cuma dalam minggu ini hampir tiap hari dia main PS, kadang sampai berjam-jam. Memang apa hubungannya dengan kondisi Dani.?”
“Besar kemungkinan akibat radiasi televisi yang intens, apalagi kalau main PS, saking fokusnya otak anak menjadi tegang. Hal ini dapat memicu gejala epilepsi. Beberapa waktu belakangan banyak ditemui kasus serupa. Ditambah dengan kondisi Dani yang mempunyai bakat autis.”
Aku terdiam. Kekecewaan yang kupupuk selama ini telah menambah penderitaan Dani.
“Allah, masih adakah kesempatan bagiku?”.     

---- selesai -------

Dimuat di Majalah UMMI no. 04/XXI/Agustus 2009/1431 H

0 komentar:

Posting Komentar