Maafkan Bunda, Anakku!
Oleh : Irna Syahrial (FLP Bogor)
(Dimuat di Majalah UMMI)
“Ayah aja ya, yang ambil formulir Dani ke sekolah. Bunda nggak enak
badan,” ujarku pada suamiku pagi itu.
“Kenapa sih, Bunda nggak mencoba
untuk tidak menjadikan hal ini sebagai beban pikiran yang berlebihan,”jawab
suamiku dengan nada sedikit mengeluh.
Aku diam saja memandangi suamiku yang
bersiap-siap ke kamar mandi.
Jam delapan pagi suamiku berangkat. Setelah
menutup pintu pagar, aku masuk kembali ke rumah. Dani, putraku satu-satunya
sedang asyik bermain PS. Minggu-minggu terakhir ini waktunya banyak dihabiskan
dengan permainan itu.
Kepalaku terasa berat. Aku masuk ke kamar dan
merebahkan tubuhku di tempat tidur. Mataku terpaku pada foto keluarga yang
dipasang di dinding kamar. Foto itu diambil dua tahun yang lalu waktu Dani
berumur dua tahun. Aku tersenyum menatap Dani. Kata orang-orang wajah Dani
sangat mirip dengan wajahku. Mukanya oval, serasi sekali dengan hidungnya yang
mancung. Kulitnya yang putih bersih, sangat menggemaskan. Saat kutatap matanya,
terasa ada yang miris di hatiku. Mata Dani yang indah itu nyaris tidak pernah
menatapku. Hampir tidak pernah Dani bertatapan denganku bahkan sampai 4 tahun
usianya kini. Kadang aku merindukan dia membalas tatapanku saat aku memandangi
dan menciuminya. Beberapa kali kucoba memaksa, mukanya kupegang, kuhadapkan ke
wajahku,
“Lihat Bunda, Dan!” pintaku. Dani cuma melihat
sepintas, kemudian matanya kembali berputar-putar menatap apa yang ada di
sekelilingnya.
Dani juga memiliki kebiasaan yang cukup aneh. Dia
sangat suka bermain dengan benda yang berbentuk bulat pipih. Mulai dari uang
logam, koin, tutup botol, roda mobil-mobilan, sampai tutup panci. Bahkan jam
dinding yang berbentuk bulat tidak bisa dipajang di dinding karena dia akan
memintanya. Semua benda piupih itu disusun berjejer-jejer sambil diperhatikan
dengan seksama dan berulang-ulang. Dani bisa bermain dengan benda-benda bulat
itu sendirian sampai berjam-jam lamanya.
Mungkin karena kesibukan kami bekerja, kami
terlambat menyadari keganjilan Dani dalam bersikap dan berinteraksi dengan
lingkungan. Saat Dani berusia dua setengah tahun tapi belum mampu mengucapkan kata yang berarti, kami
belum menyadari bahwa itu adalah gejala yang harus diwaspadai.
Ketika anak-anak lain menangis ingin ikut bila
melihat orang tuanya berangkat, Dani hanya cuek saja. Alangkah naifnya kami di waktu itu, kami
justru merasa Dani lebih cepat dewasa dibandingkan anak-anak seumurnya.
Waktu berumur 3 tahun, Dani sedikit bisa bicara.
Namun kami masih menganggapnya normal walaupun dia sering mengucapkan “mama”
hampir ke semua wanita dewasa yang menggendongnya. Dani juga tidak bisa
mengenaliku jika aku berada di tengah-tengah ibu-ibu yang sama-sama
berkerudung. Dani akan berkeliling-keliling mencariku walaupun dia sudah
melewatiku beberapa kali. Yang membuatku sangat sedih, Dani sepertinya tidak
mengenali namanya sendiri. Dia tidak merespon sama sekali kalau dipanggil.
***
Jam satu malam aku terbangun ketika kudengar Dani
mengoceh sendiri. Dia memang sering terbangun malam dan bermain sendiri terkadang
sampai pagi. Dani turun dari tempat tidurnya dan mengambil mainan bulatnya.
Kemudian dia menyusun berjejer-jejer dengan sangat teliti dan rapi seperti
biasa. Kemudian dia berjalan mengelilinginya. Mula-mula pelan, makin lama makin
cepat. Dani berlari-lari mengelilingi mainannya, kencang seperti gasing. “Dani
udahan! Nanti Dani pusing,” kata ayahnya mencoba menghentikan Dani. Dani tidak
mendengarkannya, dia terus saja berputar.
“Dani, sudah nak. Kalau pusing kepalanya nanti
bisa terbentur di lantai,” kataku berusaha menangkapnya, tapi terlepas, dia
licin seperti belut. Dani bahkan berlari semakin kencang. Di mataku, Dani
terlihat hanya seperti bayang-bayang. Terlihat tapi tidak bisa ditangkap.
Mataku kabur berpendar mengikuti posisi Dani yang berpindah-pindah sangat
cepat. Aku terpaku di dalam pusaran lingkaran Dani. Air mataku menetes.
Aku menangis, benar-benar menangis dari lubuk
hatiku. “Anakku satu-satunya, apa yang
tengah dialaminya?” Suamiku juga diam terpaku. Kami berdua hening, larut
dalam pikiran masing-masing.
Sudah setengah jam lebih Dani berputar-putar.
Tiba-tiba dia berhenti mendadak. Tanpa perlambatan sedikitpun. Aku ternganga. Dia
tidak pusing. Tersenyum senang. Dia kemudian mengambil mainannya. Lambat-lambat
aku mendengar tawa Dani. Tawanya lucu, riang dan menggemaskan, namun di
telingaku terdengar begitu menyayat, seperti tembang kepedihan mewakili kegalauan
hati seorang ibu.
***
“Dari hasil serangkaian tes serta gejala-gejala
yang diperlihatkannya, besar kemungkinan putra ibu mengalami autis,” kata dr.
Hadi, dokteer yang kami kunjungi. Aku dan suamiku saling pandang tidak
mengerti. Dr. Hadi sepertinya memahami kebingungan kami.
“Penyakit autis muncul akibat kelainan di susunan
saraf otak. Ditandai dengan adanya kelainan perilaku dan respon yang sangat
minim terhadap lingkungan. Penyebab utama diperkirakan karena faktor genetik.
Selain itu ada kemungkinan akibat imunisasi, kebocoran usus, alergi protein
tertentu, atau keracunan logam berat. Penyandang autis seakan-akan hidup dalam
dunianya sendiri. Perilakunya tidak berkembang serta tidak mampu memahami
instruksi.”
“Apakah masih mungkin dipulihkan, Dok?” suamiku
bertanya penuh harap.
Aku menarik nafas panjang, kecemasan menyergapku
membayangkan masa depan Dani.
“Dari beberapa metoda terapi yang telah
diaplikasikan, 50 % penderita dapat sembuh, bahkan benar-benar bisa hidup
normal. Ini adalah suatu kemajuan yang menggembirakan, karena sebelumnya
dianggap anak autis tidak punya harapan
sembuh sama sekali. Namun ini tergantung berat-ringannya penyakit yang dideritanya.”
“Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
terapinya , Dok?”
“Diperlukan waktu sekitar 2-3 tahun, dengan
catatan harus konsisten. Minimal 8 jam
sehari atau 40 jam seminggu atau maksimal selama anak terjaga.”
“Lama juga ya , Dok ” ujarku pelan seolah hanya
untuk diriku sendiri.
“Ya, memang, Namun bukan berarti tidak bisa
dilaksanakan” jawab dokter Hadi. “Untuk membantu, selain terapi putra ibu dapat juga
dimasukkan ke sekolah SLB khusus autis.”
Aku terperangah. Masuk SLB? Bukankah itu sekolah khusus
anak-anak cacat? Aku yang sedari kecil selalu menjadi bintang kelas, siswa
teladan dari SD sampai SMA, luluan terbaik fakultas dari perguruan tinggi
favorit di Indonesia, bagaimana mungkin memiliki
anak yang sekolah di SLB? Apa kata orang-orang nanti?
***
“Sepertinya
memang harus ada yang kita korbankan untuk kesembuhan Dani, Bunda!” Sebelum
tidur suamiku mengajakku berbicara.
“Agar kita bisa melaksanakan terapi secara konsisten
setiap hari, bahkan selama Dani terjaga
untuk jangka waktu yang bertahun-tahun , rasanya tak mungkin tugas itu
kita serahkan kepada Bi Irah.”
Bi Irah adalah pembantu kami yang mengasuh Dani dari
kecil
“Maksud ayah bagaimana?” tanyaku.
“Bagaimana kalau Bunda berhenti bekerja agar pengobatan Dani bisa optimal? “ tanya suamiku hati-hati.
Aku terdiam. Berhenti bekerja? Mengorbankan karir yang
sudah kubangun sejak 8 tahun yang lalu? Haruskah aku melepaskan jabatan manajer
produksi pada perusahaan makanan instant
terbesar di Indonesia
ini? Alangkah sayangnya income Rp. 15
juta rupiah per bulan yang selama ini sangat berperan menopang ekonomi
keluargaku. Bagaimana mungkin aku bisa hidup dengan hanya mengandalkan gaji
suamiku yang berprofesi sebagai PNS?
Delapan tahun yang lalu, cuma aku satu-satunya sarjana
“fresh graduate” yang diminta langsung oleh perusahaan untuk bekerja bahkan
sebelum aku diwisuda.
“Selamat ya In,
udah cum laude, lulusan terbaik fakultas, langsung dapat kerja lagi, tanpa
harus ngelamar dulu,” teman-teman berkomentar kagum dengan prestasiku saat
kami makan-makan sehabis wisuda dulu.
Ah, apakah semua ini harus aku tinggalkan?
“Ayah dapat memahami perasaan Bunda. Tapi
Dani lebih membutuhkan Bunda. Kepekaan naluri seorang ibu akan sangat membantu
untuk kesembuhan Dani,” ujar suamiku lembut. Keteduhan matanya sedikit
meredakan gejolak penolakan yang disuarakan hatiku.
***
Dua bulan sudah aku berhenti bekerja.. Rasa
bosan mulai menguasaiku. Setiap hari pekerjaanku hanya menemani Dani. Namun
keberadaanku rasanya tidak diacuhkan sama sekali oleh Dani. Bila dia
membutuhkan sesuatu, dia akan menarik-narik tangan Bi Irah walaupun aku ada di
sampingnya. Aku merasa kehilangan anakku.
Seperti kejadian pagi itu, Dani menarik-narik
baju Bi Irah. Aku tahu pasti dia menginginkan sesuatu.
“Kenapa Dan, Dani mau apa? Sini Bunda yang
ambilin,” bujukku sambil berusaha melepaskan tangan Dani dari Bik Irah.
Dani sepertinya tidak mendengarkanku dan
semakin mengeratkan pegangannya pada Bi Irah.
“Iya Dan, sama Bunda tuh! Dani mau ambil
sepeda bukan?” Bi Irah juga berusaha membujuk.
Dani bersuara “ Ahh, ah,” tapi tetap tidak
mau melepaskan pegangannya. Pandangannya lurus keluar. Kosong.
Aku membungkuk untuk menggendongnya. Dani
mengibaskan tanganku, tetap tanpa ekspresi sama sekali. Sedikit memaksa, aku
melepaskan tangan Dani dari Bi Irah. Langsung kudekap dan kugendong dia. Tak
kupedulikan tangannya yang menggapai-gapai Bi Irah.
Kerinduanku akan respon Dani bahwa dia
membutuhkanku, bahwa dia mempedulikanku, membuatku mengabaikan penolakan Dani.
Dani menjerit-jerit histeris. Dia meronta lebih keras. Tenaganya ternyata cukup
kuat untuk membuat peganganku terlepas. Dengan sebuah hentakan keras Dani
melepaskan diri dariku. Dani berlari ke Bi Irah yang langsung memeluk dan
menggendongnya. Bi Irah mengusap-usap punggung Dani berusaha menenangkannya.
Tangisan Dani mulai mereda. Aku terdiam melihatnya. Air mataku mengalir. “Anakku tidak membutuhkanku,” tiba-tiba
saja pikiran itu melintas menguasa benakku.
“Ditidurkan aja dulu, Bi!” ujarku
menyembunyikan getar kepedihan dalam suaraku. Aku masuk ke kamar menumpahkan
sesak di dada lewat butiran air mata yang mengalir deras.
***
“Dani tidak membutuhkan Bunda, Yah!” perasaan
kecewaku kutumpahkan pada suamiku menjelang tidur malam itu. Air mataku menetes
menceritakan kejadian tadi siang.
“Yah, Ayah juga mengerti perasaan Bunda,”
kata suamiku mencoba memahamiku. “Namun dari buku-buku yang ayah baca, anak
autis memang sulit untuk menerima perubahan. Ayah rasa penolakan Dani tidak
terkait dengan perasaan. Emosi yang mereka miliki sangat minim. Mereka
terkadang seperti robot, terlatih berulang-ulang untuk hal yang sama dengan
cara yang sama. Selama ini Dani sudah sangat terbiasa bila menginginkan sesuatu
dengan cara menarik-narik tangan Bik Irah, Dani menjadi bingung saat Bunda
berusaha untuk mengalihkannya. Akibatnya dia menjadi ketakutan dan histeris.”
“Tapi rasanya hampa Yah, menerima penolakan
anak sendiri,” aku berkata pelan, mencoba mengurai perasaan terabaikan yang
kurasakan akibat penolakan Dani. Rasioku belum mampu sepenuhnya memahami
penjelasan suamiku.
“Ayah tidak mengecilkan arti pengorbanan
Bunda yang telah berhenti bekerja. Tapi waktu 2 bulan mungkin belum cukup
dibandingkan dengan 4 tahun yang telah dihabiskan Dani bersama Bi Irah. Untuk
membantu mempercepat perkembangannya mungkin memang sebaiknya Dani kita
masukkan ke SLB, Nda,.”
“Tapi Yah, rasanya Bunda belum siap kalau
Dani harus masuk SLB. Bagaimana kita manghadapi pertanyaan orang-orang. Apa
mereka tidak akan memandang rendah kita memiliki anak yang cacat. Bunda nggak
sanggup, Yah!” aku menelungkupkan kepalaku ke bantal. Begitu berat rasanya
beban di kepalaku.
Suamiku menarik nafas panjang.
“Kenapa kita harus takut dengan anggapan
orang-orang. Kita menjadi tidak adil mengorbankan Dani, dengan tidak memberikan pendidikan yang
semestinya hanya untuk menjaga nama baik kita di depan orang lain.”
Aku terdiam lama. Ucapan suamiku terasa
menghakimiku. Namun aku mengakui kebenaran ucapannya.
“Yah…Terserah Ayah, deh!” kataku akhirnya
dengan berat hati.
***
Aku tertidur cukup lama. Pikiranku terasa lelah. Jam 12
siang aku terbangun. Aku keluar kamar, ternyata Dani masih main PS. Bik Irah
sibuk memasak.
“Dari jam 7 tadi
Dani belum berhenti main PSnya, Bi?” Tanyaku pada Bi Irah.
“Iya Buk, tadi disuruh berhenti tapi malah ngambek”
Begitulah Dani. Bila dilarang atau PSnya dimatikan, dia
akan menjerit-jerit. Aku menjadi pusing. Pikiran lelah dan kecewa terhadap Dani
yang kurasakan akhir-akhir ini membuatku membiarkan saja Dani sibuk dengan
PSnya.
Siang ini aku berencana untuk membezuk Dian, anak Mbak
Dini teman sekantorku dulu, yang sekarang dirawat di rumah sakit. Setelah
shalat zuhur aku berangkat.
Mbak Dini terlihat kurus. Tiga bulan lebih aku tidak
bertemu setelah dia berhenti bekerja karena anaknya diketahui mengidap kanker
otak.
Aku terenyuh melihat kondisi Dian. Berbagai macam
selang terpasang di tubuhnya Tubuh itu sekarang sangat kurus dengan tulang pipi
yang menonjol. Padahal dulu sebelum sakit Dian gemuk dan lucu, juga sangat
lincah. Rambut Dian yang dulu ikal dan tebal, sekarang juga rontok sama sekali.
“Akibat kemotherapi, In.” Mbak Dini seolah mengerti
jalan pikiranku. “Bahan-bahan kimia yang sangat keras yang dimasukkan ke tubuh
Dian, di tubuhnya terasa sangat panas mengakibatkan semua rambutnya rontok,”
suara Mbak Dini terdengar tabah.
“Tapi Mbak Dini
sangat tabah, ya,” ucapku tulus.
“Nggak juga , Intan. Pada awalnya saya tidak sanggup
melihat keadaan Dian. Tapi justru dia yang menyemangati saya. Walaupun Dian
baru 12 tahun, tapi ketabahannya luar biasa,” mata Mbak Dini berkaca-kaca.
“Anak adalah anugerah, dalam keadaan apapun. Pernyataan
itu sangat benar. Bahkan dalam sakitnyapun dia bisa menjadi pengingat kita. Dokter
mengatakan kankernya sudah menjalar sampai ke paru-paru. Kemotherapinya juga
tidak memperlihatkan hasil. Harapan hidup Dian paling lama hanya enam bulan
lagi. Namun dalam kondisi seberat itu Dian masih mampu mengingatkan saya, “Mama tabah ya. Kata bu guru setiap yang
hidup pasti meninggal. Kita harus ikhlas. Mama nggak boleh nangis lagi, ya.”
Mbak Dini tak mampu menahan airmatanya. Airmatakupun tak mampu kutahan.
***
Ucapan Mbak Dini terngiang terus di telingaku, Anak adalah anugerah, dalam keadaan apapun.
Wajah Dani menari-nari dalam benakku. Aku sangat
merindukannya.
Keikhlasan! Ya Allah!
Betapa jauh kata itu dari diriku. Betapa egoisnya aku selama ini.
Dering hp dari dalam tas memutuskan lamunanku.
“Bu, cepat pulang! Dani kejang-kejang, dia pingsan,”
napas Bi Irah memburu panik.
Badanku terasa melayang. Pandanganku nanar. Mobil-mobil
dihadapanku terlihat samar. Kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku tidak
memperdulikan teriakan orang-orang melihat aku menyalip mobilnya tanpa
pertimbangan.
“Dani, maafkan, Bunda, Nak!” aku menjeritkan kata itu
dalam hatiku.
Kuparkir mobilku sembarangan di depan rumah. Aku
melompat masuk. Bik Irah tengah mengelap cairan putih yang keluar dari mulut
Dani.
“Cepat, Bi. Kita bawa ke rumah sakit,” aku dan Bi Irah
menggotong Dani ke mobil.
Suamiku ternyata telah lebih dulu sampai di rumah
sakit. Bergegas kami membawa Dani ke ruang ICU. Aku menangis dalam pelukan
suamiku,
“Allah, beri aku kesempatan! Beri aku waktu untuk
memperbaiki kesalahanku!”
Dokter menyuntikkan cairan kuning melalui dubur Dani.
Perlahan kejangnya mulai berkurang.
Tubuh Dani terlihat melemah, dia tertidur. Kami menarik nafas lega.
“Maaf pak, apa Dani terlalu intens menonton televisi?”
dokter bertanya setelah kondisi Dani agak tenang sambil membolak–balik rekam medik Dani selama ini. Aku dan suamiku
saling pandang. Aku mengingat-ingat.
“Kalau nonton televisi, nggak terlalu Dok. Cuma dalam
minggu ini hampir tiap hari dia main PS, kadang sampai berjam-jam. Memang apa
hubungannya dengan kondisi Dani.?”
“Besar kemungkinan akibat radiasi televisi yang intens,
apalagi kalau main PS, saking fokusnya otak anak menjadi tegang. Hal ini dapat
memicu gejala epilepsi. Beberapa waktu belakangan banyak ditemui kasus serupa.
Ditambah dengan kondisi Dani yang mempunyai bakat autis.”
Aku terdiam. Kekecewaan yang kupupuk selama ini telah
menambah penderitaan Dani.
“Allah, masih adakah kesempatan bagiku?”.
---- selesai -------
Dimuat di Majalah UMMI no. 04/XXI/Agustus 2009/1431 H
0 komentar:
Posting Komentar