Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 30 September 2015

Bincang-bincang dengan Farhan (Orang Tua dari Anak Autisme)



Bincang-Bincang Mengenai :
Suka Duka  Perjalanan Orang tua Anak Autis
Bersama : Farhan (Presenter dan orang tua anak Autia)

Dalam sebuah acara yang digagas oleh Mpati (Masyarakat Peduli Autis Indonesia) di Lotte Mart Kelapa Gading, Jakarta, pada tanggal 19 September 2015, beberapa anggota Himpasi (Himpunan Peduli Anak Spesial Indonesia) yaitu Umi Rosmala, Bu Wiwie, Bu Irna dan Fatimah berkesempatan hadir dan mengikuti acara tersebut. Acara tersebut diisi oleh Farhan, penyiar radio serta presenter televisi.
 **
Farhan memulai bincang-bincang dengan menceritakan riwayat kesehatan anak pertamanya  Rizky, seorang penyandang autisme. Beberapa hari setelah Rizky dilahirkan  secara vakum pada tahun 1999,  dokter mendiagnosanya mengalami kelainan jantung yang mengharuskannya dioperasi di usia yang belum genap satu bulan.  Pada usia 16 bulan, Rizky kembali harus menjalani operasi untuk menyuntikkan antibiotik ke dalam tulang di pergelangan kakinya.
Bayi Rizky terlihat sangat anteng dibandingkan bayi seusianya dan tidak merepotkan orang tua. Kondisi yang awalnya dianggap sangat menyenangkan ini justru merupakan pertanda adanya “kelainan” lain yang dialami Rizky.  Pada usia 18 bulan, seorang kerabat Farhan menyampaikan kecurigaannya tentang kemungkinan Rizky menderita autism. Farhan membawa Rizky kepada Psikolog Diah Puspita. Psikolog ini menyebut Rizky “kemungkinan” menderita autism tapi belum bisa memastikan. Karena pada saat itu kondisi autism pada anak baru bisa dipastikan bila anak sudah berusia 36 bulan. Namun walaupun belum bisa dipastikan kondisi autism yang dialami Rizky, Farhan disarankan untuk melakukan terapi perilaku terhadap putra sulungnya tersebut. Saat ini Rizky sudah berusia 16 tahun dan bersekolah satu tingkat dengan adiknya yang dua tahun lebih muda di sebuah SMP di Cibubur.
Dari pengalamannya sebagai orang tua yang memiliki anak autis ini, Farhan memberikan beberapa masukan bagi orang tua yang memiliki anak autis.
1.  Pentingnya Keterbukaan Orang Tua tentang kondisi anaknya.
Memiliki anak dengan kondisi “berbeda” dengan anak pada umumnya memang merupakan sebuah perjuangan tersendiri bagi orang tua.  Ada rasa menolak, kecewa, malu dan bermacam perasaan lain yang berkecamuk.  Namun jangan terlalu lama membiarkan perasaan tersebut mendominasi pikiran. Bersifat terbuka terhadap  lingkungan akan sangat membantu. Terlebih bila menghadapi kondisi seperti anak autis kabur dan tidak bisa pulang ke rumah dan lain-lain. Tentunya bila lingkungan mengetahui kondisi yang dialami anak lingkungan akan cepat bertindak memberikan bantuan.
Kondisi  bersikap terbuka terhadap lingkungan mengenai keadaan Rizky ini dirasakan Farhan sangat membantu terutama sekali saat Rizky diajak ke luar rumah seperti ke mall ataupun ke lokasi syuting dan Rizky. Seperti halnya saat Farhan syuting “live” suatu acara di TV One, Rizky yang waktu itu masih berumur 9 tahun tiba-tiba kabur berlari dengan tidak memakai baju. Untungnya banyak kru yang membantu  menangkap Rizky. Saat ditanya ayahnya kenapa Rizky berlarian tidak memakai baju , Rizky menjawab karena dia ingin “menghilang”.
2.  Membekali anak autis terutama dengan terapi perilaku terlebih dahulu
Farhan merasakan terapi perilaku merupakan terapi yang yang utama dibutuhkan anak autis sebelum terapi lainnya termasuk terapi wicara. Karena kemampuan berperilaku  yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan anak anak untuk diterima oleh lingkungan dan juga untuk menjaga agar anak tidak mengalami perilaku negative dari lingkungan. Termasuk dalam  ini adalah Farhan melatih Rizky  toilet training. Walaupun saat melepas Rizky pertama kali sendiri ke toilet umum Farhan sangat   “takut” dan “deg-degan”.
3.  Bersyukur akan membuat hati lebih terbuka dan ikhlas
Berusaha menerima keadaan anak apa adanya sembari mencari sisi positif memiliki anak autis akan membantu orang lebih bijak menerima keadan anaknya apa adanya. Farhan juga menekankan orang tua untuk tidak berharap yang muluk-muluk, seperti bahwa anak autis akan menjadi seperti Einstein, Edison dll. Karena berharap terlalu tinggi  suatu saat dapat membuat perasaan terluka.
“Terima anak apa adanya dan lakukan apa yang bisa dilakukan untuk memandirikan anak seoptimal mungkin”. 
Farhan juga menambahkan dengan “joke” ringan ala Farhan,
“Berhubung anak saya “autis”, saya yakin dia tidak akan pernah menjadi “buronan” KPK,” ujar Farhan diikuti gelak tawa penonton.

Bogor, 23 September 2015.