Neraka
yang Bahan Bakarnya Manusia dan Batu
Saat wafatnya petinju legendaris
Muhammad Ali beberapa waktu yang lalu, ada salah satu ungkapan Muhammad Ali
yang cukup banyak dikutip media sosial yang membuat saya merasa merinding:
“Saya tidak merokok,
tapi saya selalu membawa korek api di kantong celana. Setiap kali saya tergerak
untuk bermaksiat, maka saya bakar satu batang korek api dan saya rasakan
panasnya di telapak tangan. Saya pun berkata dalam hati, “Wahai Ali, menahan
panasnya korek apai ini saja kamu tidak sanggup, bagaimana pula dengan
dahsyatnya api neraka (Muhammad Ali 1942-2016).
Masyaallah, sebuah
kesadaran yang sungguh menggugah dari seorang muallaf yang hidup di
tengah-tengah dominasi non muslim. Lalu bagaimanakah neraka yang sangat
ditakuti Muhammad Ali dengan sepenuh kesadaran dalam kesehariannya itu (semoga
kita juga mempunyai kesadaran yang sama)?
Dalam surat Attahrim
ayat 6 (QS 66:6), Allah berfirman, “Quu anfusakum wa ahliikum naara, wa
quuduhannaasa wal hijarah…..”, yang artinya : “Selamatkanlah dirimu dan
keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”
**
Kemajuan teknologi dan
kemudahan mengaksesnya telah membuat manusia dengan sangat gampang terhubung dengan
hal apapun dan di manapun. Kemjuan teknologi menwarkan banyak kemuadahan dan
peluang. Namun sebaliknya, kemajuan teknologi juga ternyata telah banyak merusak
tatanan kehidupan. Menghancurkan sendi-sendi moral, agama dan etika.
Satu hal lebih mengkhawatirkan
adalah rusaknya akhlak generasi anak-anak muslim. Kehancuran generasi serasa
berada di ambang pintu. Media masa silih berganti memberitakan kejahatan yang
menimpa anak-anak. Namun yang lebih menyedihkan justru adalah banyaknya kejahatan
yang pelakunya justru anak-anak seperti kasus tawuran, pembunuhan sampai
kejahatan seksual. Bahkan kejahatan seksual yang sangat mengerikan yang disebut-sebut
oleh beberapa pihak sebagai kejahatan seksual paling sadis yang menimpa Eno
Parihah baru-baru ini dilakukan oleh pelaku yang masih terkategori anak-anak..
Lalu kenapa saat ini
anak-anak semakin gampang terprovokasi melakukan kejahatan?
Yee-Jin Shin, seorang
psikiatri asal Korea Selatan mensinyalir dunia digital menjadi penyebab utama
timbulnya perilaku antisosial pada anak-anak yang mengkhawatirkan saat ini. Koneksi
internet yang sangat gampang diakses, game online dan media sosial telah
menciptakan dunia maya yang begitu luas. Dan semua itu saat ini seringkali difasilitasi
orang tua ada di tangan anak.
Kesuksesan anak di
dunia maya justru menyebabkan mereka terjauh dari dunia nyata. Anak mengalami
kesulitan bersosialisasi. Anak merasa “dunia maya” itulah yang menjadi “dunia
nyata”nya. Di dunia maya anak dapat berlaku sesukanya. Dia dapat memaki,
menghina, menuliskan kata-kata kasar tanpa ada kontrol sosial. Kondisi semakin
parah dengan konten yang terkandung pada
media internet. Mulai dari konten porno pada game online sampai pada situs-situs
pornografi yang dengan sangat gampang untuk diakses. Psikolog Elly Risman mengemukakan
bahwa tingkat kecanduan terhadap pornografi lebih berbahaya dari kecanduan
narkoba. Apalagi kalau dilihat dari dampak sosialnya karena pencandu pornografi
secara membutuhkan obyek untuk pelampiasan hasrat seksualnya.
Yee-Jin Shin dalam
bukunya “Mendidik Anaka di Era Digital“ menuliskan bahwa adalah salah kaprah
bila orang tua terlalu dini memperkenalkan dunia digital kepada anak-anak. Masa
kanak-kanak adalah masa pematangan kecerdasan emosional dan mengembangkan
kemampuan bersosialisasi serta koomunikasi. Yee menyebutkan selama mungkin anak
diperkenalkan dengan dunia digital akan semakin baik. Perlu digarisbawahi bahwa
sebelum usia dua tahun anak tidak perlu sama sekali dilibatkan dengan dunia
digital, termasuk dengan televisi. NAECY, organisasi pendidikan anak usia dini
Amerika menegaskan di atas usia dua tahun anak-anak hanya boleh menonton televisi
maksimal dua jam sehari dengan memberikan jeda yang memadai kepada anak. Ada fakta
yang sangat menarik yang ditulis Yee dalam buku di atas, bahwa ternyata para petinggi dan penemu teknologi internet di
Silicon Valley mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah yang tidak
memperkenalkan internet sama sekali sampai anak-anak mereka usia SMP.
Namun sayang, yang kita
temukan hari ini adalah anak-anak kita terinfeksi dunia digital dan internet
terlalu dini, termasuk juga dengan televisi dan play station. Kita menyimpan
teknologi di telapak tangan mereka di saat mereka belum matang untuk membedakan
mana yang benar dan mana yang salah. Saat mereka seharusnya lebih banyak
bergerak dan menyalurkan energi mereka yang berlebih, mereka justru asyik
menyendiri dan terbenam dalam dunia digitalnya. Hal ini justru berakibat mereka
menyalurkan energy untuk hal yang tidak tepat.
Lalu bagaimanakah
pertanggungjawaban orang tua sebagai pemegang amanah sekaligus pelindung dan
penyelamat keluarga agar terhindar dari api neraka, yang bahan bakarnya secara nyata disebutkan Allah SWT adalah manusia dan
batu? Sementara panasnya nyala korek api saja belum tertanggungkan bagi kita untuk
memegangnya seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Ali di atas.
Kurangnya ilmu dalam
mendidik anak, merupakan salah satu sebab ketidaktepatan orang tua dalam
mendidik anak. Orang tua merasa aman-aman saja, membiarkan anak berinteraksi
dengan perangkat digital tanpa sensor karena tidak memiliki pengetahuan bahaya
yang dapat menimpa anak mereka. Tak mau repot serta ingin kerewelan anak cepat
selesai, juga merupakan kondisi yang sering dijumpai yang membuat orang tua
memfasilitasi anaknya dengan perangkat digital yang sebetulnya belum dibutuhkan
oleh anak. Bila anak rewel, orang tua segera menyodorkan handphone sehingga
tangisan anak reda. Bila ibu pengen memasak, maka cukup dengan menyetelken televisi,
anak-anak akan segera diam dan ibu bisa melanjutkan aktifitasnya. Padahal seharusnya
orang tua harus lebih kreatif mencari alternatif yang lebih mendidik. Hal lain
yang juga sering kita temui adalah ketidakmampuan orang tua untuk bersikap
tegas dalam menolak permintaan anak. Anak perlu dimotivasi membedakan tentang
apa yang menjadi kebutuhannya dan apa yang sebetulnya hanya keinginan. Bila anak
sudah bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan, mereka akan lebih gampang
diarahkan. Dan yang lebih penting juga adalah membangun komunikasi yang yang positif
antara orang tua dan anak sehingga anak memiliki pemahaman dan rasa tanggungjawab yang baik.
Waalaha’lam Bishshawab
Bogor, 1 Juli 2016
0 komentar:
Posting Komentar